Senin, 30 Juni 2008

Konferensi Perubahan Iklim

Konferensi Perubahan Iklim PDF Print E-mail

”It is my hope that we will rise as one to face this challenge, and leave a better world for future generations”

Itulah kalimat yang pernah diucapkan Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam upaya memerangi perubahan iklim. Harapan itu pula yang mungkin ingin dicapai dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim dari tanggal 3-14 Desember 2007 di Nusa Dua, Bali. Konferensi ini sangat penting karena di dalamnya dibahas mengenai masa depan kelangsungan hidup umat manusia.

Penyelenggaraan konferensi perubahan iklim ini berawal dari peringatan para ilmuwan di awal tahun 1990-an akan ancaman serius perubahan iklim bagi manusia dan lingkungan. KTT PBB mengenai bumi pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, menanggapi peringatan ini dengan menyetujui dibentuknya Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UN Framework Convention on Climate Change-UNFCCC). Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu. Para negara penandatangan UNFCCC bertemu setiap tahun sekali untuk membahas dan menyepakati tindakan yang harus dilakukan, dalam pertemuan Conference of Parties (COP) atau sering disebut konferensi perubahan iklim.

Pada COP ke-3 di Kyoto Jepang tahun 1997 telah dicapai sebuah kesepakatan yang disebut Protokol Kyoto. Di sini tercapai konsensus bahwa negara maju (kecuali Amerika Serikat) yang selama ini menjadi pembuang karbondioksida (CO2) terbanyak bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca minimal 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Kini 4 tahun menjelang berakhirnya protokol Kyoto, COP ke 13 di Bali menjadi sangat penting untuk menjadi landasan tercapainya kesepakatan baru setelah tahun 2012.

Sekitar 10.000 orang hadir dalam konferensi perubahan iklim di Bali yang terdiri dari delegasi resmi 187 negara, para pengamat dari organisasi internasional dan non pemerintah serta media massa. Acara dalam konferensi ini bukan hanya sekadar membuat negosiasi saja. Terdapat lebih dari 200 acara pendamping (side event), yang semuanya mengusung beragam isu dalam bentuk seminar, diskusi, sharing experience atau peluncuran program. Di samping itu, ada lebih dari 100 stan mengisi ruang pameran yang disediakan di lokasi konferensi. Belum lagi suguhan happening art atau demonstrasi yang dilakukan LSM baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Di luar lokasi konferensi digelar pula kegiatan-kegiatan lain (parallel event) yang jumlahnya sekitar 50 macam acara.

Dalam konfeplenaryrensi ini terungkap fakta bahwa perubahan iklim telah terjadi sekarang, bahkan cenderung lebih cepat terjadinya daripada yang diduga sebelumnya. Negara-negara kepulauan kecil seperti Fiji, Samoa dan Tulavu ”berteriak” karena pantai-pantai mereka telah mulai tenggelam. Selain itu, benua Afrika terancam bencana kelaparan karena gagal panen akibat kemarau berkepanjangan. Di sisi lain es di kutub utara dan kutub selatan mencair lebih cepat dari apa yang diprediksi para ilmuwan.

Proses perundingan berjalan sangat lambat karena sikap Amerika Serikat, Jepang dan Kanada masih enggan mengurangi emisinya. Setelah sempat diperpanjang satu hari, akhirnya konferensi menghasilkan konsensus bernama Bali Road Map. Di sini disetujui agenda dan jadwal yang harus diselesaikan sampai tahun 2009 guna menghasilkan perjanjian baru setelah Protokol Kyoto. Sekalipun demikian masih terlihat masalah subtansi yaitu besarnya pengurangan emisi yang gagal disepakati. Angka pengurangan emisi sebesar 25-40 % bagi negara maju sampai tahun 2020, agar suhu tidak naik melampaui 20 C dan tidak menimbulkan bencana dahsyat, tidak dicantumkan pada konsensus tersebut. Tampaknya harapan Sekjen PBB Ban Ki-moon agar kita semua menyatukan langkah dalam menghadapi perubahan iklim masih belum dapat terwujud.

Tidak ada komentar: